Kali kelima saya membaca novel karangan Pramoedya Ananta Toer saya semakin paham bagaimana beliau mendiskripsikan peran wanita disetiap cerita sejarah. Belum lepas ingatan saya bagaimana kagum nya saya akan tokoh Nyai Ontosoroh pada buku tetralogi Pulau Buru yang digambarkan sebagai perempuan pejuang yang tidak menyerah pada zaman kolonial Belanda. Gadis Pantai adalah sosok kedua yang saya kagumi meski kehadirannya jauh sebelum Nyai Ontosoroh. Namun amat disayangkan rasa penasaran saya akan akhir kisah Gadis Pantai tak akan terwujud, Gadis Pantai sendiri merupakan Unfinished Novel dimana seri kedua dan ketiga lenyap saat rezim orde baru dan tidak diketahui dimana rimbanya.
Dari awal hingga akhir buku pertama Gadis Pantai tetap disebutkan sebagai Gadis Pantai tidak ada nama panggilan atau siapa nama sesungguhnya. Gadis Pantai berasal dari kampung nelayan yang saat itu berusia 14 tahun ketika emak dan bapaknya mengantarkannya ke kota untuk menikah dengan seorang Bendoro (setingkat bupati) seorang penguasa residen. Sepanjang perjalanan Gadis Pantai yang tidak tahu kenapa harus menikah hanya bisa menangisi nasibnya, emak dan bapaknya menjelaskan bahwa keputusan ini untuk membuat Gadis Pantai bahagia tidak susah hidupnya karna harus bekerja keras di kampung nelayan, tapi tak sedikitpun Gadis Pantai merasa hidupnya susah bahkan menderita, Gadis Pantai merasa kehidupannya dirampas tidak bisa hidup dimana dia menginjakkan kaki. Emaknya meyakinkan bahwa Bendoro seorang alim agama yang sudah haji dua kali.
Sampailah rombongan dari kampung nelayan di kota tepatnya di kediaman Bendoro berupa gedung besar yang baru dilihat pertama kali oleh Gadis Pantai dan keluarganya, dengan perasaan takut bercampur aneh emak Gadis Pantai membujuknya untuk mematuhi Bendoro meyakinkan Gadis Pantai bahwa hidupnya akan senang serta berkuasa sebagai wanita utama istri Bendoro. Gadis Pantai yang tidak tahu sama sekali bagaimana peraturan kehidupan priyayi dibantu oleh seorang pelayan wanita yang dipanggil nya mbok. Mbok inilah yang menemani keseharian Gadis Pantai yang sudah diperistri oleh Bendoro, namun ketakutan nya masih menyelimuti dirinya. Emak dan bapaknya sudah tidak bisa menemani nya setiap hari karena dinding pemisah kehidupan itu telah berlaku saat Gadis Pantai menjadi istri Bendoro. Gadis Pantai yang masih belia tersebut kerap merengek meminta bertemu dengan emaknya dan pulang ke kampung, mbok dengan sabar menghiburnya sampai akhirnya Gadis Pantai mengerti bahwa sekarang dia milik Bendoro suka atau tidak suka Gadis Pantai hanya akan mematuhi Bendoro bukan lagi emak dan bapaknya.
Pertemuan pertamanya dengan Bendoro saat memasuki kamar tidur Gadis Pantai merasa takut, namun Bendoro dengan lembutnya memanggilnya Mas Nganten memberitahu bahwa dia sekarang suami Gadis Pantai. Gadis Pantai merasakan kelembutan dari tangan Bendoro yang mengusap rambutnya. Seiring waktu hari demi hari Gadis Pantai melewati hari dengan belajar menjadi wanita utama seorang istri priyayi, Bendoro mengajarinya juga dalam hal agama, memanggil guru ngaji dan mengajarkannya solat. Bulan demi bulan berlalu Gadis Pantai memiliki kesibukan seperti membatik dan membuat kue sesekali dia turun ke dapur. Gadis Pantai menjadi semakin cantik, kulitnya menjadi kuning langsat kemerahan.
Lambat laun Gadis pantai melupakan kerinduannya pada kampung nelayan, pada emak dan bapaknya pada laut yang membawa aroma amis pada kehidupan kampung nelayannya.
Memasuki 2 tahun perkawinan dengan Bendoro, Gadis Pantai kerap dilanda rindu menunggu kedatangan Bendoro. Bendoro yang datang sebentar dan pergi beberapa hari membuat Gadis Pantai merasa kesepian, Gadis Pantai dilanda cemburu setiap kali memikirkan kemana Bendoro hanya mbok yang selalu diajak nya berbicara mengusir rasa kesepian. Kisah kehidupan mbok yang tak kalah menderita ini semakin mengikat kedekatan Gadis Pantai dan mbok, mereka sudah seperti ibu dan anak. Sampai suatu hari Gadis Pantai kehilangan uang belanja yang diberikan Bendoro, mbok yang mencurigai para ponakan Bendoro mencoba menyelesaikan masalah dengan menghadapi mereka, namun keributan yang didapat sampai terdengarlah Bendoro. Bendoro yang mengetahui salah satu ponakan nya mencuri mengusirnya namun mbok juga diusir Bendoro karna menyebabkan keributan dan menuduh ponakan yang lain. Gadis Pantai sedih akan kepergian Mbok, tak satupun didalam gedung tersebut yang tau kemana mbok pergi.
Sampai dibagian ini saya sangat mengerti bagaimana perasaan Gadis Pantai, mulai dari dia menangis tidak tahu mengapa harus menyerahkan hidupnya pada orang yang tidak dia kenal dan dilihatnya, ini mengingatkan dimana masa wanita adalah hak laki-laki. Dibelahan dunia manapun sejarah selalu memberikan gambaran wanita yang tidak memiliki derajat sosial tinggi, wanita yang berasal dari kalangan rendah, wanita yang tidak bersekolah, miskin, budak adalah hak dari lelaki kaya, kapanpun mereka bisa mengambil wanita tersebut untuk dijadikan apa saja. Namun ternyata Gadis Pantai juga bisa merindukan sosok suami yang jarang ditemuinya, Bendoro yang taat beragama, mengaji serta lembut kepada Gadis Pantai inilah mungkin yang membuatnya membuka hati untuk Bendoro. Ada sepercik romantisme khas Pramoedya dalam novel ini disaat Gadis Pantai berbaring dengan Bendoro mereka terlibat suatu percakapan manis yang mendebarkan hati sekilas saya bandingkan dengan Minke dan Annelies di Bumi Manusia hampir ada kemiripan antara Bendoro dengan Minke dalam hal wanita.
Comments
Post a Comment